Back to Nature to Madura
Hello good readers, genki desu ka?
Udah lama nih enggak exist di blog kesayangan, pasti pada nanyain ya gue kemana? Pastinya pada kangen bercampur cemas kan? Emang sih gue orangnya selain imut juga ngangenin. okehh cukup!
Alasan gue belum posting lagi, karena beberapa dekade yang lalu gue sedang menjalani masa liburan kuliah. Setelah 'bermumet-mumet' dengan soal-soal kalkulus yang ternyata lebih abstract dari wajah mantan. Well, saat itu juga gue memutuskan untuk ikut kakak gue ngebolang.
..Madura..
Ya, itulah tempat yang gue tuju kali ini. Berjarak sekitar kurang lebih 900 KM dari Jakarta. Memakan waktu sekitar 16 jam jika menggunakan bus. 9 jam dengan menggunakan kereta, turun di stasiun pasar turi dan transit dengan angkutan umum ke Madura. Sedangkan, 1 jam 30 menit menggunakan pesawat dari Jakarta menuju bandara Trunojoyo di Sumenep.
Jika lewat jalur darat kalian akan berjumpa dengan pemandangan yang sangat amajiiing bin ajib. Dengan panjangnya yang mencapai 5,438 M, berdiri tegak menantang nan kokoh, yaitu jembatan 'Suramadu'. Jembatan yang menghubungkan antara pulau jawa dan madura ini, menjadikannya jembatan terpanjang di Indonesia saat ini.
Madura, tempat yang jarang jadi tujuan wisata ini menyimpan banyak keindahan didalamnya. Alasan kenapa tempat wisata di Madura kurang terkenal, mungkin karena sistem adat dan keagamaan yang masih sangat kental...
...Sekental cinta kuhh pada mu. Aseekkk..
Intinya selama gue disini jarang banget bahkan tak pernah melihat seorang bule sekalipun. Katanya sih, emang para ulama di madura masih belum setuju dengan kehadiran orang asing, terutama orang bule.
Bahkan konon katanya nih, tidak ada satu pun gereja di Madura, karena memang mayoritas orang madura adalah orang islam dan keislamanya tidak usah diragukan. Tapi, sekarang sudah mulai ada gereja disana, mungkin sifat toleransi beragama sudah mulai tumbuh disana.
Bahkan konon katanya nih, tidak ada satu pun gereja di Madura, karena memang mayoritas orang madura adalah orang islam dan keislamanya tidak usah diragukan. Tapi, sekarang sudah mulai ada gereja disana, mungkin sifat toleransi beragama sudah mulai tumbuh disana.
" Kak, ini orang madura pada abis sunatan ya? Pada make sarung semua" tanya gue.
"Swiiingggg, bruakkkk" pukulan sayang tepat bersarang di muka imut gue.
"Bukan abis sunatan, emang adatnya kayak gitu!!!" jawab kaka gue dengan sinis.
Hmm... Saat itu juga gue berfikir kalau orang madura ikutan lomba main bola pakai sarung pasti menang... Hmmm
Pokoknya sepanjang mata memandang kalian akan melihat sarung-sarung liar berkeliaran. Baik itu dipasar, orang naik motor, kang parkir, semunyalah pokoknya. Kecuali pegawai and pak pocis ya, ya kali pocis pake sarung.. Hadeeh..
Banyak sekali pondok pesantren di pulau madura ini, bahkan rata-rata orang Madura adalah lulusan pondok pesantren. Oleh karena itu, enggak usah shock liat orang Madura hafal yasin. Orang yang hafal Al-Quran aja berceceran banyaknya.
Dikarenakan agama yang masih cukup kental, gue sering melihat banyak makam yang dikeramatkan. Baik itu makam para wali, kyai, dan lainnya, pokoknya makam-makam orang alim dan sakti mandraguna pada jaman dulu. Karena gue gak dibolehin untuk foto makamnya, takut fotonya blur atau terjadi sesuatu, jadi gue foto plang-nya aja ya sebagai oleh-oleh.
Konon katanya disalah satu jalan dekat tempat gue menginap, ada sebuah jalan yang tak bisa dilewati tanpa izin. Orang penunggan kuda ataupun pesepeda ketika melewati jalan itu akan mental atau terjatuh, karena jalan tersebut hanya bisa dilewati dengan berjalan ataupun seizin para ulama di sekitar daerah tersebut.
Karena gue bukan holiday di kotanya, sesuai dengan tema kali ini yaitu 'Back to Nature'. So, mau gak mau ya gue hidup di pedalaman Madura, tapi gak terlalu pedalaman juga sih. Let's enjoy this holidayyy...
Bentangan persawahan dan ladang jagung pun seakan telah menyambut gue. Dengan pemandangan yang hijau nan asri, membuat gue melupakan sejenak suntuknya kehidupan kota. Menyegarkan diri dengan udara yang segar untuk dihirup dan memanjakan mata yang selama ini diisi dengan layar laptop berganti menjadi layar tumbuhan hijau yang membentang.
Selama gue disini banyak banget tumbuhan yang gue temuin dari buah-buahan sampai sayur-mayur semua lengkap ada disini. Well, gak usah takut kelaparan, ada buah tinggal sikaaat. Tapi numpang-numpang dulu ya, tar yang ada abis makan malah modar lagi...
Bahkan, gue makan ayam kampung, asliii langsung dari ayam yang lagi enak-enak lari kesana kesini bercanda dan kongko-kongko dengan kawan-kawan satu genknya. Tiba-tiba langsung ditebas dan berakhir di tungku kuali. Mungkin kalau ayam bisa ngomong mereka udah demo dan berunjuk rasa saat itu.
Jagung, kelapa maupun tumbuhan lain terlihat lebih pendek dibandingkan yang biasa gue lihat. Itulah istimewanya tumbuhan disini, walaupun pendek, buahnya telah masak. Pohon kelapa setinggi 2 meter saja sudah dapat dipanen buahnya. Selain itu, selama perjalanan sering kali gue melihat pohon lontar, bahkan buah yang jatuh dan membusuk tak dihiraukan orang.
Mungkin kalau di Jakarta udah diambil and dijual-jualin kali di emperan jalan...
Para penduduk yang terlihat dari kejauhan sedang mengarit rerumputan untuk mengumpulkan pakan sapi. Sedangkan yang lain sibuk mengumpulkan ranting-ranting pepohonan sebagai bahan bakar memasak mereka. Ya, penduduk sini kebanyakan masih menggunakan kompor berbahan bakar kayu.
Penduduk disekitar sini sangatlah ramah, walaupun kalian orang asing mereka akan menyapa. Bahkan, gue lagi markirin motor duduk-duduk dipinggir jalan, tiap orang lewat pasti nyapa gue. Serasa orang famous sih disini. Bahasa permisi orang sini adalah 'pamit' atau disingkat 'amit', terkadang gue iseng ngomong 'amit-amit'...hehe
Disela-sela perjalanan gue melihat suatu tempat yang cukup menarik. Yups, itu adalah sumur yang berada di tepi jalan. Kenapa bisa ada sumur?
Selain menggunakan sumber mata air, penduduk asli sini memanfaatkan sumur sebagai sumber air bersih. Well, siapa tahu ada rejeki nomplok lihat bidadari cantik lagi mandi di sumur, sembari menyiprat-nyipratkan air dan bercanda ria dengan suara yang lugu nan menggemaskan, dengan rambut yang digerai tertiup angin seperti di iklan-iklan shampoo di tv...
Penunjuk arah menuju salah satu makam yang dikeramatkan. |
Konon katanya disalah satu jalan dekat tempat gue menginap, ada sebuah jalan yang tak bisa dilewati tanpa izin. Orang penunggan kuda ataupun pesepeda ketika melewati jalan itu akan mental atau terjatuh, karena jalan tersebut hanya bisa dilewati dengan berjalan ataupun seizin para ulama di sekitar daerah tersebut.
Karena gue bukan holiday di kotanya, sesuai dengan tema kali ini yaitu 'Back to Nature'. So, mau gak mau ya gue hidup di pedalaman Madura, tapi gak terlalu pedalaman juga sih. Let's enjoy this holidayyy...
Bentangan persawahan dan ladang jagung pun seakan telah menyambut gue. Dengan pemandangan yang hijau nan asri, membuat gue melupakan sejenak suntuknya kehidupan kota. Menyegarkan diri dengan udara yang segar untuk dihirup dan memanjakan mata yang selama ini diisi dengan layar laptop berganti menjadi layar tumbuhan hijau yang membentang.
Blackberry khas madura yang langsung dipetik dari pohonnya. |
Nasib ayam kampung |
Jagung, kelapa maupun tumbuhan lain terlihat lebih pendek dibandingkan yang biasa gue lihat. Itulah istimewanya tumbuhan disini, walaupun pendek, buahnya telah masak. Pohon kelapa setinggi 2 meter saja sudah dapat dipanen buahnya. Selain itu, selama perjalanan sering kali gue melihat pohon lontar, bahkan buah yang jatuh dan membusuk tak dihiraukan orang.
Mungkin kalau di Jakarta udah diambil and dijual-jualin kali di emperan jalan...
Para penduduk yang terlihat dari kejauhan sedang mengarit rerumputan untuk mengumpulkan pakan sapi. Sedangkan yang lain sibuk mengumpulkan ranting-ranting pepohonan sebagai bahan bakar memasak mereka. Ya, penduduk sini kebanyakan masih menggunakan kompor berbahan bakar kayu.
Penduduk disekitar sini sangatlah ramah, walaupun kalian orang asing mereka akan menyapa. Bahkan, gue lagi markirin motor duduk-duduk dipinggir jalan, tiap orang lewat pasti nyapa gue. Serasa orang famous sih disini. Bahasa permisi orang sini adalah 'pamit' atau disingkat 'amit', terkadang gue iseng ngomong 'amit-amit'...hehe
Disela-sela perjalanan gue melihat suatu tempat yang cukup menarik. Yups, itu adalah sumur yang berada di tepi jalan. Kenapa bisa ada sumur?
Selain menggunakan sumber mata air, penduduk asli sini memanfaatkan sumur sebagai sumber air bersih. Well, siapa tahu ada rejeki nomplok lihat bidadari cantik lagi mandi di sumur, sembari menyiprat-nyipratkan air dan bercanda ria dengan suara yang lugu nan menggemaskan, dengan rambut yang digerai tertiup angin seperti di iklan-iklan shampoo di tv...
...Tetapi kenyataan pahit yang gue lihat adalah bapak-bapak dengan kumis tebel sedang bercanda ria nan menjijikan, sedang memandikan anaknya...
Okay, lupakan tentang bapak-bapak kumisan tadi. Selama di perjalanan gue sering menjumpai orang-orang yang lanjut usia, bahkan terbilang udah sangat tua. Ya, you know lah orang kampung, makanan masih alami, tiap hari kerjaannya jalan, gimana gak panjang umur. Bahkan, gue masih sering melihat lansia yang sedang mengarit rumput atau mengumpulkan kayu bakar. Emang orang-orang sini pada gak bisa diem, padahal udah tua masih aja gerak. Gue aja kewalahan ngikutinnya.
Untuk umur gak usah ditanya mereka bener-bener udah lupa sama umur, saking tuanya kali ya, pokoknya mereka hidup dari jaman belanda masih menginvasi Indonesia, itulah yang mereka ingat. Sedangkan untuk bahasa sendiri jangan harap ngomong bahasa Indonesia, mereka gak akan ngerti, namanya orang tua.
...Disinilah saatnya menggunakan keahlian bahasa gue yaitu bahasa tubuh...
Inilah penampakan rumah-rumah penduduk disini, tembok bilik dengan lubang-lubang kecil yang dijadikan pelindung ketika malam tiba, dengan genteng-genteng tua sebagai pelindung ketika hujan turun. Ya itulah indahnya rumah-rumah tradisional yang ada disini.
Setiap rumah yang ada disini memiliki lahan yang luas, karena yang tinggal lebih dari satu kepala keluarga, istilahnya berkelompoklah. Ditambah lagi, setiap rumah memilik 'Langgar' ya semacem mushollah gitu deh, selain untuk sholat langgar digunakan untuk berkumpul.
Hebatnya lagi setiap rumah kamar mandinya berada diluar, karena dapat digunakan secara bersama-sama. Istilahnya seperti kamar mandi umum lah. Uniknya kamar mandi ini tidak termasuk toilet, toilet terpisah agak jauh dari kamar mandi, letaknya di sekitar semak belukar. Yak, tepat, toiletnya berupa 'kakus' you know lah kakus bentuknya gimana...
Harta orang sini adalah sapi atau dalam bahasa madura 'sapeh'. Hampir setiap rumah yang gue lewati memiliki kandang-kandang untuk memelihara salah satu hewan qurban ini. Tau sendiri harga seekor sapi satunya bisa seharga motor ninja.
Selain menjadi petani, tentunya pekerjaan sampingan penduduk sekitar sini adalah membuat kerajinan batu bata. Dengan pengolahannya yang masih sangat sederhana, batu bata ini dapat dijual seharga Rp 500 perak satunya, lebih mahal dari yang ada di Jakarta tentunya. Karena batu bata yang ada disini jauh lebih besar, ketimbang yang sering kita lihat. Batu bata ini dijadikan sampingan oleh warga sini..
...itung-itung sampingan lah untuk credit mobil..
Satu lagi yang gue kagumin dari orang-orang yang ada disini adalah mental dan nyali mereka, bayangkan berjalan sendirian di tengah semak belukar bahkan bisa dibilang hutan. Kalau siang sih it's oke, kalau malam tanpa ada penerangan hanya bermodal senter dan clurit, mereka keluar untuk menghadiri pengajian atau hanya sekedar berjalan ke masjid ataupun warung.
Kalau gue mah udahnya nyerah dan melambaikan tangan kali, disuruh keluar malam-malam. Hayatiiii atut banggggg....
Katanya, jaman dahulu Madura ini adalah daratan yang ada didalam laut, dengan proses ini itu yang rempong, akhirnya dataran ini muncul ke permukaan. Teori ini bisa dibuktikan, masih ditemukannya batuan yang menyerupai terumbu karang yang berada di puncak-puncak bukit. Itu sih yang gue lihat selama berada di atas bukit sini. Jadi kalau dipikir-pikir teori itu masuk akal...
...seperti biasa, sok tau aja sih gue.
Ya, itulah perjalanan selama gue di Madura, intinya banyak pelajaran yang gue ambil dari liburan kali ini. Pokoknya Madura mengajarkan gue banyak hal yang tak bisa gue temukan di kota-kota besar. Pengalaman berharga selama disini bakalan terus gue ingat dan jadi acuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Terkadang menjadi tradisional itu perlu di jaman yang sudah serba modern ini.
See you on the next article guyss. I love youuu.
"sometimes we have to look down to appreciate what god has given to us. Sometimes, Being simple teach us a lot of things to be a good person"
Okay, lupakan tentang bapak-bapak kumisan tadi. Selama di perjalanan gue sering menjumpai orang-orang yang lanjut usia, bahkan terbilang udah sangat tua. Ya, you know lah orang kampung, makanan masih alami, tiap hari kerjaannya jalan, gimana gak panjang umur. Bahkan, gue masih sering melihat lansia yang sedang mengarit rumput atau mengumpulkan kayu bakar. Emang orang-orang sini pada gak bisa diem, padahal udah tua masih aja gerak. Gue aja kewalahan ngikutinnya.
Untuk umur gak usah ditanya mereka bener-bener udah lupa sama umur, saking tuanya kali ya, pokoknya mereka hidup dari jaman belanda masih menginvasi Indonesia, itulah yang mereka ingat. Sedangkan untuk bahasa sendiri jangan harap ngomong bahasa Indonesia, mereka gak akan ngerti, namanya orang tua.
...Disinilah saatnya menggunakan keahlian bahasa gue yaitu bahasa tubuh...
Inilah penampakan rumah-rumah penduduk disini, tembok bilik dengan lubang-lubang kecil yang dijadikan pelindung ketika malam tiba, dengan genteng-genteng tua sebagai pelindung ketika hujan turun. Ya itulah indahnya rumah-rumah tradisional yang ada disini.
Setiap rumah yang ada disini memiliki lahan yang luas, karena yang tinggal lebih dari satu kepala keluarga, istilahnya berkelompoklah. Ditambah lagi, setiap rumah memilik 'Langgar' ya semacem mushollah gitu deh, selain untuk sholat langgar digunakan untuk berkumpul.
Penampakan Kamar mandi penduduk disini |
Anak sapi |
Selain menjadi petani, tentunya pekerjaan sampingan penduduk sekitar sini adalah membuat kerajinan batu bata. Dengan pengolahannya yang masih sangat sederhana, batu bata ini dapat dijual seharga Rp 500 perak satunya, lebih mahal dari yang ada di Jakarta tentunya. Karena batu bata yang ada disini jauh lebih besar, ketimbang yang sering kita lihat. Batu bata ini dijadikan sampingan oleh warga sini..
...itung-itung sampingan lah untuk credit mobil..
Satu lagi yang gue kagumin dari orang-orang yang ada disini adalah mental dan nyali mereka, bayangkan berjalan sendirian di tengah semak belukar bahkan bisa dibilang hutan. Kalau siang sih it's oke, kalau malam tanpa ada penerangan hanya bermodal senter dan clurit, mereka keluar untuk menghadiri pengajian atau hanya sekedar berjalan ke masjid ataupun warung.
Kalau gue mah udahnya nyerah dan melambaikan tangan kali, disuruh keluar malam-malam. Hayatiiii atut banggggg....
Selama disana gue iseng-iseng berjalan kesana kemari, alhasil gue tersesat disuatu dataran tinggi. Madura memiliki banyak dataran tinggi, bisa dibilang bukit. Kalau gunung kayaknya gak ada sih. Tapi pemandangan dari atas sini ga jauh beda dari puncak bogor.
Hanya saja udaranya tetaplah panas, itulah yang membuat gue penasaran, walaupun berada di atas bukit udaranya tetaplah panas. Kalau kalian merasa Jakarta udah panas, silahkan datang ke Madura dan nikmati hangatnya matahari yang terasa sampai ke ubun-ubun.
Katanya, jaman dahulu Madura ini adalah daratan yang ada didalam laut, dengan proses ini itu yang rempong, akhirnya dataran ini muncul ke permukaan. Teori ini bisa dibuktikan, masih ditemukannya batuan yang menyerupai terumbu karang yang berada di puncak-puncak bukit. Itu sih yang gue lihat selama berada di atas bukit sini. Jadi kalau dipikir-pikir teori itu masuk akal...
...seperti biasa, sok tau aja sih gue.
Ya, itulah perjalanan selama gue di Madura, intinya banyak pelajaran yang gue ambil dari liburan kali ini. Pokoknya Madura mengajarkan gue banyak hal yang tak bisa gue temukan di kota-kota besar. Pengalaman berharga selama disini bakalan terus gue ingat dan jadi acuan untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Terkadang menjadi tradisional itu perlu di jaman yang sudah serba modern ini.
Bonus rujak khas Madura, masih super alami bahan-bahannya. |
"sometimes we have to look down to appreciate what god has given to us. Sometimes, Being simple teach us a lot of things to be a good person"
0 comments: